Senin, 02 Februari 2009

Pujian dan Hinaan

Mudzakarah

Pujian dan Penghinaan


Pujian dan penghinaan adalah dua kata yang berlawanan dan keduanya juga memberikan efek yang berlawanan jika menimpa kita. Bila kita dipuji maka kita merasa bahagia, bersemangat dan lebih akrab dengan orang yang memuji. Sebaliknya, penghinaan cenderung membuat kita marah, ingin membalas, rendah diri dan merusak hubungan kita dengan orang yang menghina.

Padahal jika kita perhatikan, pujian dan penghinaan orang lain kebanyakan hanyalah seperti permainan saja. Mereka akan memuji-muji jika merasa cocok dengan kita. Mereka akan membela kita dan membuat seribu alasan untuk membenarkan tindakan kita. Sebaliknya jika kecocokan sudah tidak ada lagi maka mereka akan menghina dan merendahkan kita serta membuat ribuan alasan untuk mencari-cari kelemahan kita.

Saudaraku,
Marilah kita bersikap waspada. Pujian dan penghinaan keduanya adalah ujian. Pujian tidak harus membuat kita merasa bangga dengan segala prestasi yang kita capai. Pujian hanya akan bernilai jika membuat kita semakin mengingat kekuasaan Allah. Prestasi yang kita capai adalah karunia Allah dan kita hanyalah orang yang dipilih untuk melakukannya. Jika Dia menghendaki bisa saja Allah memilih orang lain. Maka tidak layak bagi kita menerima pujian itu, cukup Allah saja yang menerimanya.

Penghinaan itu memang menyakitkan tapi alangkah baiknya kalau kita lebih jujur menilai diri. Barangkali penghinaan itu lebih mencerminkan keadaan kita yang sebenarnya. Kita tidak perlu menderita dengan penghinaan itu. Tidaklah kita menjadi hina karena kata-kata orang lain. Terkadang sikap kitalah yang membuat kita menjadi terhinakan.

Saudaraku,
Kita tidak perlu risau dengan apapun penilaian orang lain. Teruslah bersikap sesuai dengan tata nilai yang kita yakini. Urusan kita adalah dengan Allah, maka terserah Allah saja yang menilai setiap tindakan kita. Bisa jadi kebaikan kita di satu lingkungan diterima dengan baik karena tata nilainya sepaham dengan kita. Tetapi di lingkungan lain kebaikan kita belum tentu diterima. Jangan risau, terus lakukan kebaikan-kebaikan dan bergantunglah kepada Allah untuk segala tindakan kita. Semoga Allah Memberikan keteguhan dan ketenangan jiwa kita, amin.
Diambil dari cafemuslimah

Berikut ini sebuah renungan:

optimis itu memang perlu. Semoga bermanfaat. Hidup adalah pencarian kebaikan, karena "Tuhan adalah sumber kebaikan yang tersembunyi".

Diri kita ini tak pernah berguna jika tidak senantiasa mencari. Mencari adalah mengupayakan; mencari adalah memikirkan; mencari adalah kemaslahatan; kemaslahatan adalah gerak: gerak adalah langkah yang positif. Sebaliknya adalah kevakuman dan diam. Karena vakum dan diam itu berarti netral dan tenggelam, berarti awal dari segala kemafsadahan.

Tidak ada gerak tanpa semangat, yaitu ide dan pemikiran. Semangat juga berarti ketulusan; dan tiada ketulusan tanpa akal fikiran. Makanya tindakan orang gila itu netral (tidak bisa dihakimi), dan tindakan orang waras adakalanya baik, adakalanya buruk. Bisa baik karena menggunakan akalnya, dan buruk karena melampiaskan hawa nafsunya.

Yang pertama: akal fikiran -->ketulusan = ide dan pemikiran = semangat --> gerak, menuju ke kebaikan dan kemaslahatan.

Kebalikan dari itu: hawa nafsu --> kedengkian --> kepongahan --> kemafsadahan.

Orang diam itu tidak berdasar, makanya tenggelam, gara-gara menganggurkan akalnya. Statusnya hampir kayak orang gila. (Lain dengan orang istirahat, karena istirahat, selama itu sesuai kebutuhan, adalah bagian dari gerak). Patah semangat dan putus asa, lebih parah lagi, adalah minus dan merupakan awal dari segala kemafsadahan.

Orang yg semangat tentu dia bahagia dan tentram. Semangat dan gerak adalah bukti dari adanya kebahagiaan dan ketentraman. Makanya Allah selalu mengaitkan "pahala" --sebagai konsekuensi gerak-- (lahum ajruhum 'inda rabbihim) dengan kemantapan-keberanian- ketidakkhawatiran (wa laa khaufun 'alaihim) dan kebahagiaan/ketentraman/ketidaksedihan (wa laa hum yahzanuun) dalam ayat al-Baqarah : 277.

Sebaliknya, putus asa adalah akibat dari kesedihan, dan kesedihan mempunyai kaitan erat dengan kebodohan sebagaimana kebahagiaan dan ketentraman berjalinan dengan kecerdasan dan intelektualitas.

Itu semua adalah prinsip dasar manusia hidup. Adapun hasil, besar kecilnya, itu tergantung proses kesungguhan dan keteledorannya. "Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh mendekatiKU, pasti Aku tunjukkan jalannya" (wall-ladziina jaahaduu fiinaa lanahdiyannahum subulana). (al-Ankabut: 69)

Prinsip seperti itu menunjukkan kedirian manusia. Kedirian adalah totalitas ide dan pemikiran dari dalam diri sendiri. Kedirian itu tidak identik dengan ketidakperdulian, kecuekkan, dan acuh tak acuh. Karena kecuekan, acuh tak acuh, dan sebangsanya itu sebanding dengan kebodohan, hampir setengah dari kesombongan. Kedirian adalah penyerapan dan filterisasi informasi sehingga menyusun sebuah keutuhan ide dan pemikiran. Walaupun ada beberapa tiruan/takliid tapi seakan-akan keluar dari diri sendiri, karena telah difilter (dg akal, tentunya).

Pemikiran dan ide di sini berarti kemantapan (akan sebuah kebenaran). Di sinilah relevansinya sabda Rasul "fa idzaa 'azamta fatawakkal 'alaa Allah" (jika kamu sudah mantap, bertawakkallah pada Allah) (Ali Imran: 159). Kemantapan di sini sebanding dengan kepengetahuan, keberanian, dan ketegasan.

Ringkasnya, gerak-kemantapan-kebahagian itu harus saling terkait. Kalau sudah bisa mengkaitkan ketiganya, baru boleh bertawakkal. Semoga bermanfaat,

Wassalamu 'alaikum wr. wb.

Arif Hidayat


sumber : pesantrenvirtual.com

0 komentar: